_--great community--_
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

_--great community--_


 
IndeksIndeks  PortailPortail  PencarianPencarian  Latest imagesLatest images  PendaftaranPendaftaran  Login  

 

 Resensi Tentang Film 9 Naga

Go down 
PengirimMessage
o0o_dj.îñdrì_o0o
Member
Member
o0o_dj.îñdrì_o0o


Jumlah posting : 46
Age : 44
Location : (¯`·._.• jåkårtå •._.·´¯)
Registration date : 13.08.07

Resensi Tentang Film 9 Naga Empty
PostSubyek: Resensi Tentang Film 9 Naga   Resensi Tentang Film 9 Naga Icon_minitimeWed Aug 15, 2007 5:33 pm

Semburan Rudi, Sang Naga Resensi Tentang Film 9 Naga 1_983576510m

Judul: 9 NAGA
Ide cerita & Sutradara: Rudi Soedjarwo
Skenario: Monty Tiwa
Pemain: Lukman Sardi, Fauzi Baadila, Ajeng Sardi, Donny Alamsyah,
Produksi: Reload Pictures



Dia berlutut dengan wajah tertutup. Tanpa daya. Di punggungnya, sebuah
pucuk pistol terarah ke kepalanya. Tiga lelaki itu, Marwan (Lukman
Sardi), Donny (Donny Alamsyah), dan Leni (Fauzi Baadila), memegang
nyawanya. Dor. Dor. Dor. Tubuh itu terkapar. Ketiganya membereskan
tubuh itu tanpa kata-kata; dibungkus, digulingkan, dan dihanyutkan ke
sebuah sungai yang juga cuma memberikan saksi lewat riak malam. Dan
malam berdarah itu biasanya mereka akhiri dengan mabuk sepanjang malam
untuk mengusir rasa pahit itu.



"Hidup ini sudah terlalu sempit untuk diisi dengan penyesalan,"
demikian kata Marwan. Agak melankolis. Tapi, apa lagi yang tersisa jika
mereka hanya harus selalu membuang rasa iba dan membunuh untuk
penghasilan? Kisah ini memang bukan kisah laga seperti yang seolah
disarankan judulnya. Rudi berkisah tentang psikologi Marwan dan kedua
punakawannya, Donny dan Leni, yang mengisi hidupnya sebagai pembunuh
bayaran. Mereka menghabiskan nyawa dan menghilangkan jejak, terima
uang. Beres.



Mereka kemudian menjalankan kehidupan sehari-hari seperti orang-orang
normal di kampungnya. Marwan mencoba menjadi suami yang baik bagi Ajeng
(Ajeng Sardi), seorang istri yang lumpuh dan bergerak di atas kursi
roda akibat tertabrak angkot, dan ayah bagi si kecil Damar. Meski dia
tak banyak kata, pergi pada malam hari dengan pistol di pinggang dan
pulang pagi hari dengan mulut berbau alkohol dan segepok duit, sang
istri tak banyak bertanya dan penuh maaf dia meladeni suaminya yang
menurut dia sudah pasti bukan polisi, meski bekerja dengan sepucuk
pistol.



Donny penuh dengan cita-cita mendirikan perusahaan sablon dengan
adiknya, mundur-maju menyampaikan keinginannya pada si bos untuk cuti
karena perlahan dia ingin sekali meninggalkan dunia hitam itu. Leni,
punakawan termuda itu, hanya hidup bergantung pada kata-kata di ujung
lidah Marwan. Bagi Leni, apa yang dikatakan Marwan semua dianggap
kebenaran.



Lalu, apa yang terjadi ketika tugas membunuh itu mulai berantakan? Film
terbaru Rudi Soedjarwo ini menyembur Jakarta. Bukan karena judulnya
yang memberi kesan seolah ini adalah sebuah film laga dengan sembilan
pendekar meloncat ke sana kemari dengan semburan ilmu tenaga dalam,
melainkan karena Rudi menyajikan suatu penampilan baru. Dia mengguncang
sinema Indonesia dengan kekuatan layar yang hening, minim dengan
dialog; bahkan minim dengan laga (meski memang ada beberapa adegan
pembunuhan yang keji) dan mengusung inti dari genre drama psikologi.



Untuk beberapa menit pertama, mungkin penonton Indonesia, terutama yang
sudah lazim dengan ritme Hollywood, mulai mempertanyakan mengapa Rudi
menciptakan adegan yang begitu sunyi dengan gerakan yang penuh
perhitungan (di luar adegan-adegan pembunuhan). Bahkan salah satu
adegan pembunuhan pun dilakukan tanpa suara, tanpa jerit, dan tanpa
dramatisasi. Ini menunjukkan Rudi adalah sutradara yang anti terhadap
adegan klise. Tetapi langkah”dan gerak lamban itu memiliki alasan
sinematik dengan perhitungan yang jelas; semua bangunan emosi tokoh
diperhitungkan dan memiliki jawaban.



Dengan sendirinya, semua pemain, kecuali Toro Margens, bermain
berkilat. Lukman Sardi layak dinominasikan untuk Piala Citra tahun ini.
Demikian pula sang sutradara. Fauzi Baadila dan Ajeng Sardi tampil
menyentuh. Adegan suami-istri antara Marwan dan istrinya, Ajeng,
sungguh intim, sungguh manis, dan sungguh perih. Dialog mereka di atas
tempat tidur (dari persoalan remeh-temeh rambut putih sang istri hingga
soal imunisasi anak) mengalir dengan wajar; kewajaran yang sudah lama
sekali tak disajikan oleh sineas Indonesia sejak Teguh Karya berpulang.



Tentu saja tak ada gading yang tak retak. Rudi mengabaikan beberapa
hal, yang sudah pasti memang masuk dalam perhitungannya. Jika ini film
realis, tentu sewajarnya dalam pembunuhan yang bertubi-tubi itu akan
ada reaksi. Namun, film ini sama sekali tak memperlihatkan barang
selintasan pun reaksi polisi, reaksi media, apalagi reaksi masyarakat.
Semua terjadi seperti di sebuah negara antah berantah. Tetapi, ini
semua sudah pasti karena Rudi dan penulis skenario Monty Tiwa ingin
berkonsentrasi pada situasi psikologi trio pembunuh Marwan, Donny, dan
Leni. Soal lain: musik Andi Riyanto terlalu repetitif dan bertabrakan
dengan suasana minor yang sudah dibangun Rudi.



Namun, biarlah. Soalnya, kapankah terakhir kali Anda keluar dari
sinepleks setelah menyaksikan film Indonesia yang membuat dada Anda
begitu penuh? Kapan terakhir Anda membicarakan sebuah film Indonesia
terus-menerus sepanjang malam tak berkesudahan? Ibunda? Tjut Nyak
Dhien? Nagabonar? Ada Apa dengan Cinta? Pasti sudah lama sekali. Inilah
film berikutnya yang akan membuat kita terus-menerus berdiskusi. Dan
merenung. Dan berpikir. Ah, ternyata sinema Indonesia masih terus
berdenyut. Rudi memenuhi janji untuk tetap merawatnya.....:silent:

Resensi Tentang Film 9 Naga 1_983576510m
Kembali Ke Atas Go down
http://www.friendster.com/indrikoeh
 
Resensi Tentang Film 9 Naga
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1
 Similar topics
-
» Resensi Tentang Film Mengejar Mas Mas
» Share: Pilem Yang Lo Paling Ga Suka..
» soundtrack film laga mandarin
» BIOSKOP >>>> Film : Bukan Bintang Biasa

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
_--great community--_ :: ..:: LIFE STYLE ::.. :: Film-
Navigasi: